Era Globalisasi, Informasi dan Komunikasi merupakan sebuah fenomena
universal yang ditandai dengan terbukanya jendela-jendela informasi dengan
segala kompleksitasnya baik di kalangan negara maju atau negara-negara
berkembang. Ironisnya, era keterbukaan
ini justru telah memutuskan jembatan Integritas antara kalangan intelektual
dengan rakyat Jelata dalam proses interaksi sosialnya.
Indikator ini ditandai dengan adanya Kesalahan Persepsi bahwa Kaum
Intelektual (Rausyanfikr) adalah Dewa Agung yang Eksklusif dan sulit untuk
disentuh rakyat biasa dan keringnya cinta, kasih sayang serta kepercayaan antar
keduanya. Padahal sesungguhnya diatas bahu Kaum Intelektual itu terpikul suatu tanggung
jawab moral atas Kemerdekaan, Kesejahteraan dan Kedamaian Hati Rakyatnya.
Oleh : Relawan RUMAH MANUSIA, Rachman Bachtiar
(Widyaiswara Pertama BBPPKS-Banjarmasin)
Busur globalisasi yang telah diluncurkan ke segenap penjuru dunia saat ini bagaikan
bilah pedang bermata dua. Pada satu sisi telah membuka cakrawala pengetahuan manusia yang menakjubkan dan
banyak melahirkan kalangan-kalangan Intelektual, sedang disisi lainnya justru
menimbulkan tragedi bagi masyarakat tradisional yaitu buruknya jalinan
integritas/ kesenjangan antara rakyat biasa dan rakyat kelas terpelajar (Kaum
Intelektual). Di negara-negara barat, karena adanya sistem komunikasi dan
pendidikan massa yang baik, maka terdapat suatu jalinan kerjasama antara keduanya. Oleh karenanya, di negara
seperti itu, seorang profesor tidak akan
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi, berintegrasi dan akrab dengan kalangan
bawah sekalipun. Sang profesor atau orang-orang intelektul tidak pula
ditempatkan di angkasa aristokrasi, atau diperlakukan rakyat sebagai Dewa agung
yang sulit untuk disentuh. Bahkan di Jepang sang profesor berkenan untuk
mengajar di Sekolah-Sekolah Dasar.
KAUM
INTELEKTUAL (RAUSYANFIKR)
Rausyanfikr berasal dari kata Persia yang artinya : ”Pemikir yang
Tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggris disebut intellectual atau free-thinkers.
Menurut James
MacGregor Burn : Seorang intelektual ialah orang yang terlibat secara
kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan
praktis. Jadi seorang intelektual ialah orang mencoba membentuk lingkungannya
dengan gagasan analistis dan normatifnya. Menurut Edward A. Shils, dalam
International Encyclopedia of The Social Sciences, tugas intelektual ialah
”menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat ; mendidik pemuda dalam tradisi
dan ketrampilan masyarakatnya ; melancarkan dan membimbing estetik dan
keagamaan berbagai sektor masyarakat... ”
Terjemahan bebas untuk istilah Rausyanfikr adalah kaum intelektual ; dalam
arti yang sebenarnya, kaum intelektual yang dimaksud adalah bukan orang-orang
yang semata-mata telah melewati pendidikan formal dengan gelar sarjana, mereka
juga bukan sekedar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan
penalaran dan penelitian. Mereka adalah orang-orang yang jiwanya terpanggil
untuk memperbaiki masyarakat, menangkap aspirasi mereka, menawarkan strategi
dan alternatif pemecahan masalah yang ada dalam masyarakatnya, merumuskan dan mengkomunikasikan
konsep-konsep dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang,
DISINTEGRITAS
Jika kita telaah, kondisi rakyat sekarang sedang merindukan suasana
harmonis, tidak lagi terdapat kesenjangan antara Kaum Intelektual dan Rakyat Biasa,
Para Tokoh Keagamaan, Filosof-Filosof
besar dan Kaum Inteligensia bisa hidup ditengah rakyat dan selalu memelihara interaksi
sosial dengan mereka, dan norma-normalah yang senantiasa menjadi jembatan penghubung
antara kelompok satu dengan yang lainnya. Sehingga suara rakyat bisa
berkumandang membelah birokrasi dan terdengar di telinga kaum intelektual yang
selanjutnya bergandengan berjalan bersama untuk mencapai cita-cita dan tujuan yaitu
kehidupan masyarakat yang sejahtera dan merdeka lahir batin.
Namun dalam realitas yang ada, sistem pendidikan kita sekarang, telah melahirkan
birokrat-birokrat dan generasi muda terpelajar yang hidup terbelenggu dalam
benteng-benteng terisolasi bahkan telah menggali jurang pemisah antara mereka
dan rakyat, dan tatkala mereka terjun ke masyarakat untuk berkarya (sebagai
manifestasi pengamalan ilmu yang mereka peroleh dari pendidikan formal) si rakyat
tetap ”tak-tergapai”. Akibatnya, rakyat hanya menganggap mereka sebagai golongan/
kelas eksklusif yang tidak dapat memberi manfaat apapun bagi mereka. Selama ini
memang belum kita dengar ada seorang birokrat atau seorang ilmuwan misalnya,
duduk satu tikar bersama rakyat untuk berbicara dan bergerak bersama-sama
masyarakat melakukan langkah-langkah strategis bagi pembangunan, kesejahteran,
kemerdekaan dan kedamaian hati rakyat sesuai konsep teori yang mereka miliki,
demi mencapai cita-cita dan tujuan bersama.
Oleh karenanya, kami atas nama rakyat sangat mendambakan kehadiran Individu-Individu
yang merasa terpanggil dan memiliki tanggung jawab moral untuk menyelamatkan
dan mempersatukan komponen-komponen kehidupan sosial yang bercerai berai, yaitu
Membangun Sebuah Jembatan Integritas
yang Merentang dari Stasioner Misterius Kaum Intelektual ke Arah Hati Rakyat. Penghubung
antara dua kutub yang saling mengasingkan secara teoritis dan praktis.
MEMBANGUN
JEMBATAN INTEGRITAS
Dari mana kita mesti memulai ? Pertanyaan semacam ini hanyalah ada pada orang-orang
yang memilki rasa tanggung jawab moral dan sangat berhasrat untuk berbuat
sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, dan individu semacam itu adalah yang tergolong
kedalam Kaum Intelektul (Rausyanfikr) sejati, yang memiliki tanggung jawab moral dan misi sosial tertentu dengan
orientasi kesejahteraan dan kedamaian hati rakyat.
Siapa-kah Rausyanfikr itu ? setiap Rausyanfikr adalah seorang intelektual,
tetapi tidak selalu seorang intelektual bisa menjadi sorang Rausyanfikr. Seorang
Rausyanfikr adalah individu yang sadar terhadap kondisi kemanusiannya,
masyarakatnya dan periode masa hidupnya, dan kesadaran semacam itulah yang bisa
menganugrahinya rasa tanggung jawab moral.
Seorang Rausyanfikr akan lebih efektif jika ia juga seorang terpelajar, tetapi
dengan berjalanya waktu, seseorang yang tidak berpendidikan formal pun justru dapat memainkan peran yang lebih dominan
dan penting di masyarakat. Suatu penelaahan terhadap masyarakat-masyarakat yang
secara tiba-tiba tertranspormasikan dari kodisi buruk akibat imperialisme
menuju suatu masyarakat yang cemerlang dan progresif, membuktikan bahwa
pemimpin-pemimpin mereka seringkali berasal dari tokoh-tokoh yang bukan kaum
Intelektual, seperti di Afrika, Amerika Latin, Indonesia saat perang melawan
kolonial Belanda, telah melahirkan para pahlawan yang tak pernah memiliki suatu
gelar apapun, juga di negara-negara Asia lain seperti saat perang Vietnam,
ternyata para pemimpin revolusioner mereka bukanlah berasal dari kalangan kelas
terpelajar yang bertitel tertentu atau ahli strategi perang. Ternyata intelektualitas
mereka, yang terlahir dari rakyat biasa telah mampu membangun integritas, semangat
dan keyakinan utuk menjadi bangsa yang merdeka, sejahtera dan terhormat di mata
dunia.
Dalam suatu periode ketika manusia menemui jalan buntu karena krisis global
seperti sekarang ini, dan Dunia ketiga tengah bergulat melawan berbagai
permasalahan sosial yang berdimensi multi krisis, seorang Rausyanfikr membimbing
masyarakatnya agar sadar dan ikut
memikul tanggung jawab dalam proses pemecahan masalah-masalahnya. Berdasarkan definisi ini, seorang Rausyanfikr bukanlah
orang-orang yang memproklamirkan diri sebagai pewaris Galileo, Copernicus,
Socrates, Aristoteles, Ibnu Sina atau para
Wali, tapi orang-orang yang memiliki itikad, komitmen dan tanggung jawab moral
untuk meneruskan dan menyempurnakan karya dan cita-cita para pendahulunya.
Tugas dan tanggung jawab Seorang Rausyanfikr serupa dengan kaum revolusioner
dan para pemimpin masa silam. Individu ini lebih merupakan milik rakyat
ketimbang milik suatu ajaran pemikiran, teknik atau sains tertentu, ia akan
selalu hadir ditengah-tengah rakyat dan mempersembahkan semboyan, pandangan,
inovasi, energi dan animasi sosial kedalam jantung kesadaran masyarakat mereka.
Misi dan upaya revolusioner
semacam itu akan menyebabkan goncangan, transpormasi, keyakinan dan motivasi dan
animasi sosial kedalam masyarakat yang sering macet terjebak oleh status quo. Rausyanfikr
mengambil peran sebagai individu-individu
yang memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk menyampaikan Karunia
Tuhan (Kesadaran) kepada masyarakat. Karena
kesadaranlah yang akan mampu mengubah
ideologi dan kondisi masyarakat dari kehancuran menjadi
sesuatu kekuatan yang kreatif dan menggelora, perubahan itu akan melahirkan peradaban,
budaya yang cemerlang, pahlawan-pahlawan umat dan menjadikan terbangunnya Jembatan
Integritas antara dua kubu yang selama ini terputus,
MAKNA
INTELEKTUALITAS
Uraian diatas telah menjawab pertanyaan : ”Dari mana Kita Mesti Memulai ?” .Tugas
seorang Rausyanfikr yaitu menyampaikan Risalah Tuhan kepada umat manusia yang
beku dan terbelakang. Ketahuilah, bahwa ini bukanlan daerah kekuasaan (ranah) seorang
ilmuwan, yang selalu menunjukan fungsi-fungsi tegas, seperti diagnosa atas
suatu kondisi sosial masyarakat miskin kini, penemuan dan pemanfaatan sumber
daya alam atau sumber daya manusia misalnya atau pemenuhan kebutuhan material
kehidupan manusia. Biasanya, Seorang Ilmuwan menemukan Realitas... sedangkan
Seorang Rausyanfikr menemukan Kebenaran, kalau seorang Ilmuwan menyatakan
”ini
Ungkapan yang Sebaiknya” ... maka seorang Rausyanfikr akan menyatakan ”itu
Bukanlah Cara Sebaiknya ... tapi Seharusnya ...” Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal
.... Rausyanfikr akan berbicara dengan bahasa kaumya... Ilmuwan bersikap
netral... Rausyanfikr harus melibatkan diri pada Ideologi. Rausyanfikr akan mengajak rakyat dan bersama-sama melakukan
langkah-langkah inovatif sekaligus membimbing dan memberi petunjuk bagaimana
cara melakukannya. ini adalah suatu kenyataan bahwa : Ilmu Pengetahuan adalah Kekuatan
... sedang Pemikiran Merdeka (Rausyanfikr) adalah Cahaya (Nur).
INTELEKTUAL
ORGANIK
Dalam kancah kehidupan sosial masyarakat ada banyak terdapat Intelektual
Organik bak mutiara yang berkubur oleh lapuknya usia zaman. Menurut Antinio
Gramsci, Intelektual Organik adalah : Golongan
masyaralat yang sadar dan mampu menyadarkan serta menggerakkan rakyat dalam
merespon kepincangan-kepincangan baik sosial, budaya, ekonomi atau politik.
Intelektual Organik adalah sebagai intelektual yang secara organis berakar
dalam rakyat dan bagian dari rakyat. ”Semua orang adalah Intelektual, maka
seseorang dapat mengatakannya demikian,
tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat” (Gramsci
1971, hal 121).
Dengan kata lain, senantiasa ada
intelektual yang memainkan peran dalam Revolusi Kesadaran sebagai pencetus dan
penyebar ideologi dalam masyarakat. Melalui pencerahan dan pengetahuan yang
luhur seperti itulah, rasa tanggung jawab moral dibangkitkan, demi memandu seorang
manusia ke jalan yang benar, bukannya melalui kajian dari ilmu fisika, kimia,
sastra, biologi, sosial atau pun hukum. Itulah sebabnya mengapa banyak rakyat biasa yang tidak berpendidikan
sering dapat berperan dan mampu memberi warna baru dalam kehidupan
masyarakatnya yang layu, untuk kemudian memandu mereka ke arah tujuan yang
diinginkannya ; sementara banyak juga ilmuwan yang tidak mengambil satu langkah pun dalam proses
membentuk kesadaran, keyakinan, cinta, kasih sayang dan ideologi ke dalam masyarakat mereka.
Suatu realita menyatakan, bahwa seorang profesor ahli kimia, matemetika,
biologi, ekonomi, hukum bahkan ahli
nuklir sekalipun sampai saat ini belum mampu berbuat sesuatu tatkala
mengahadapi kondisi masyarakat yang sedang diterpa krisis Ideologi, keyakinan, spititual
dan sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dekadensi moral,
krisis kepercayaan, anarkis dan hal lainnya.
Tujuan seorang Rausyanfikr adalah membentuk kewaspadaan dan keyakinan serta
memilih suatu cita-cita bersama masyarakat untuk masyarakat itu sendiri.
Seseorang tidak akan mengakui dirinya sebagai seorang Rausyanfikr hanya karena
ia pernah belajar di Eropa/ Amerika dan memperoleh Gelar tertentu. Selama ini
kita telah salah mempersepsikan bahwa Rausyanfikr, Ilmuwan, dan Intelektual
sebagai predikat yang sepadan, sehingga kita tidak dapat mengidentifikasikan mana
Rausyanfikr, mana yang kategori Ilmuwan dan mana yang Intelektual. Ternyata panggilan jiwa, rasa
tanggung jawab, keyakinan, kejujuran, ketulusan dan ahlak mulia bukanlah suatu
yang dapat dipelajari di Universitas-Universitas terkenal sekalipun, karena
individu-individu seperti mereka bukanlah lulusan Hardvard, Sorbonne, Mesir atau Louisiana Police Academy Bauten Roudge Amerika
(Sekolah Kepolisian yang mencetak Pasukan Anti Teroris).
JADI
INTINYA :
Rausyanfikr (Kaum Intelektual) adalah mereka yang punya visi dan misi hidup,
tidak larut dalam dinamika hidup, tapi justru mampu melarutkan kehidupan dalam
pandangannya yang cemerlang, ia adalah individu
yang tetap sadar akan kenyataan bahwa manusia di wilayah manapun berada, dengan
segenap dimensi dan bakatnya bisa saja menjadi korban penindasan, ketidak-adilan, konsumeristis,
hedonis, terjebak dalam kondisi kebebasan seksual, keterbelakangan, kemiskinan,
kelaparan dan kegelapan ilmu pengetahuan. Seorang Rausyanfikr dilingkungan yang kondisi
masyarakatnya seperti itu, akan selalu gelisah dan bertanggung jawab untuk membawakan
semboyan-semboyan, tujuan, serta ideologi-ideologi yang relevan dan asli kepada
masyarakatnya serta membimbing mereka untuk hijrah dari kondisi kontradiktif
yang telah menghunjam jantung mereka agar kembali sadar. Seorang Rausyanfikr akan
membangun kesadaran diri dan pola fikir progresif masyarakat serta menebarkan
cahaya ilmu kedalam eksistensi rakyat yang hatinya dingin dan beku, serta menyalurkan energi spiritual demi membangkitkan
dan memotivasi manusia untuk menjadi abdi kehidupannya dengan setia, sehingga
mereka akan Back to Basic pada kepribadian, religius, budaya, identitas,
keberfungsian sosial dan sejarah bangsanya.
KONSEP
STRATEGI DEMI TERBANGUNNYA INTEGRITAS
ANTARA
KAUM INTELEKTUAL DENGAN RAKYAT
1.
Back to Basic pada sistem pendidikan yang berdimensi akar
budaya bangsa sendiri, didiklah bangsa
ini tidak saja dengan berbagai ilmu pengetahuan yang hanya merupakan konsumsi
otak, tapi juga sinarilah nurani mereka dengan cahaya ilmu ukhrowi yaitu agama dan nilai-nilai
kepribadian bangsa sendiri, agar mereka
terlahir sebagai Rausyanfikr yang progresif
dan revolusioner serta bertanggung jawab dalam membantu masyarakat untuk hijrah dari kontradiksi budayawi asing yang
dipaksakan ke alam sadar mereka agar segera bangkit dan memiliki keyakinan
2.
Dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat,
tebarkanlah Rausyanfikr
yang dapat menemukan dan menggali permasalahan dan bersama masyarakatnya
melakukan langkah-langkah strategi pemecahan masalah dengan memanfaatkan sumber
daya internal maupun eksternal yang ada disekitarnya
3.
Seyogyanya, masyarakat kita dibangun atas dasar ideologi yang responsif, prinsip dan
cita-cita luhur yang bersendikan agama, dengan nilai-nilai agama kita mempunyai
konsep keikhlasan, kedisiplinan, kesyahidan/ jihad. Dengan harapan kita tidak lagi memilki para
pemimpin yang selalu mencari perlindungan di Goa-Goa, Benteng-Benteng Militer
atau Bihara-Bihara, tetapi mereka orang-orang
yang berani terjun dikancah perang melawan penderitaan rakyat atau bahkan siap
untuk dipenjara.
4.
Untuk membimbing dan menyelamatkan manusia, membentuk
keyakinan, cinta dan kasih sayang, power dan kesadaran baru, serta menyadarkan mereka akan bahaya kebodohan,
ketakhayulan, penindasan ketidak adilan, kemiskinan dalam masyarakat, maka diperlukan
keberadaan Rausyanfikr di berbagai
kalangan baik itu di kalangan birokrasi maupun dalam stratifikasi sosial
masyarakat. Mereka harus star dengan energi religius dan keyakinan. jangan
seperti kondisi saat sekarang yang justru banyak perilaku-perilaku individu yang
menentang prinsip-prinsip dan kosep ideal religius/ agama sejati,.............
REFERENSI
:
1. Ali Syari’ati, Pengantar : Drs. Jalaludidin Rahmat MSc. Ideologi Kaum Intelektual
Suatu Wawasan Islam, Bandung : Mizan, April 1984
2. Mansour Faqih, Antonius Maria Indrianto, Eko Prasetyo, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan untuk Membangun
Gerakan Hak Asasi Manusia, Insist Press, Maret 2003.
3. ...... Manifesto
Intelektual Organik, Diskusi HMI Komisariat SAINTEK UIN Malang, 21 Mei 2005,
Internet, Google, 23 Desember 2008.
4. Masmulyadi, HAMKA
dan Intelektual Organik (Catatan 100 Tahun Prof. Dr. HAMKA), Internet, Google,
23 Desember 2008.
5. Kholis Malik, Diktator
Tanpa Hegemoni VS Revolusi Kesadaran Kita, Harian Pelita, Internet, Google, 23
Desember 2008.