Relawan berbagi.
Seorang relawan
bercerita, “Tugas kantor yang setiap saat berubah – ubah, kadang sulit kadang
mudah, permintaan tolong dari teman atau dari tamu, ada – ada saja, kadang pujian atau cemoohan,
itu adalah hal yang biasa dan bisa dibilang sering terjadi.
Dengan jujur semua itu aku terima apa
adanya. Tanpa prasangka buruk dari siapapun, dan tanpa prasangka buruk dari
dalam diri. Tugas itu aku terima apa adanya, dengan perasaan tulus, dengan
kemurnian hati, aku jalani mengalir saja dan aku tak memikirkan gampang atau
susahnya. Yang aku rasakan tugas itu sebagai obyek kemurnian yang butuh
perlakuan dengan kemurnian juga. Gampang atau susah nanti ada jawabnya juga”.
“Dampaknya…, aku merasa tenang, dan ada – ada saja ide yang
muncul dan bantuan dari pihak – pihak yang tak kuduga sebelumnya untuk
menyelesaikan dengan baik. Semua itu menjadi tanggungjawab, bukan sebuah beban.
Terkadang ada teman sekantor yang
mengadapi masalah seperti ini, selalu kaget dan mengeluh dengan menampakkan
wajah bingung, kemudian disusul suasana kepanikan. Sehinga hari – harinya
menjadi tidak tenang, seperti anak SD yang mendapat tugas dari Pak Gurunya
kemudian suasana kelas menjadi kacau”.
“bener!, ini yang saya rasakan dan
saya alami, pada suatu hari ada warga yang datang dengan tergopoh – gopoh,
kemudian melapor bahwa keluarganya kesurupan sekarang kondisinya gawat, sedang
mengamuk. Pokoknya bapak harus datang sekarang dan tolong pak, disembuhkan, kalimatnya terputus – putus panick”.
“Alkhamdulillah, orang itu bisa diajak
tenang dan aku suruh pulang duluan. Aku teringat, orang yang telah seratus persen percaya padaku untuk sebuah
pertolongan / penyembuhan, artinya mereka telah memberikan kepercayaan penuh
dan meyakini bahwa aku bisa menolongnya. Namun cara dan urutan yang pernah aku
dengar dari seseorang, lupa – lupa ingat, pokoknya mantaplah, apa yang ada dan
muncul dari dalam hati kulakukan dengan penuh keyakinan dan percaya diri.
Sebelum berangkat aku membaca doa dan aku yakin nanti saya belum sampai
rumahnya, orangnya sudah sembuh, atau sadar.”
“Ketika aku sudah sampai didepan pintu
gerbangnya, semua warga sudah berkumpul dengan satu harapan sembuh, aku
disambut beramai – ramai. Aku mencatat, bahwa mereka menyambutku dengan cara
yang berlebihan dan penuh ketakutan akan ancaman amuknya, tapi biarlah, itu
memang keadaanya yang terjadi, dan aku katakanan tolong….! semuanya tenang, siapa yang akan menemani
bapak masuk, satu orang saja? Hasilnya tak ada yang berani menemaniku. Ya sudah
kalau tidak ada, saya minta tolong dibantu dengan doa, agar cepet sembuh. Namun
apa yang terjadi? Pasien yang kesurupan itu keluar dari dalam rumah. Tentu saja
semua warga menjadi kabur kalang kabut hanya aku saja yang berdiri si depan
pintu yang disusul oleh pasien yang kemudian memelukku sambil menangis
ketakutan, saya takut pak!”
“Semuanya sudah selesai, mari masuk
kedalam dan minum untuk menghiklangkan rasa pusing dan capek. Melihat kenyataan
itu warga kembali mendekat dan ada yang berani masuk. Saya mohon diri dan
kembali pulang”.
“Seperti yang sudah aku katakan, semua
ini aku terima apa adanya, namun bagi masyarakat yang latar belakang dan
pengalamannya berbeda – beda, merespon kejadian ini berbeda- beda pula,
kebanyakan dengan cara yang berlebih – lebihan. Bagi yang kagum, mereka kagum
berlebihan sehingga ceritanya dan komentarnyapun berlebihan juga. Bagi mereka
yan takut dan takutnya berlebihan sehingga cerita tentang kecemasan akan jadi
sasaran amuknya menjadi tak karuan. Itulah gambaran suasana seseorang ang
menerima dan menyikapi obyek permasalahan tidak dengan ketenangan sehingga
luapan dan ungkapan emosi menjadi sebuah gambaran, betapa kacaunya mereka dan
mudah panik dalam menghadapi sesuatu”.
“Sikap menerima apa adanya dengan kemurnian
tanpa mengada –ada dan melebih – lebihkan permasalahan, memiliki nilai dan
posisi strategis terhadap penyikapan dan penangnanan masalah. Bahwa ketika kita
tenang, masalah ataupun tugas yang menghampiri kita itu, terpengaruh oleh iklim
ketengan yang terpancar dari dalam diri sehingga secara alamaiah permasalahan
ataupun tugas itu menjadi menjadi lunak dan mudah untuk diselesaikan, begitu
sebaliknya ketika seseorang dalam menghadapi masalah dengan kepanikan,
ketakutan, kecemasan, maka permasalahan itu dipandang sebagai sesuatu yang akan
mendatang masalah besar dan diri menjadi kecil sehingga emosi kita menjadi
kalang kabut tak karuan”.
Salam manusia
Dari obrolan Relawan ini,
seorang spiritualis dan Ketua RT. Terima kasih atas ceritanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar