Jumat, 21 Desember 2012

MENERIMA APA ADANYA


Relawan  berbagi.
        Seorang relawan bercerita, “Tugas kantor yang setiap saat berubah – ubah, kadang sulit kadang mudah, permintaan tolong dari teman atau dari tamu,  ada – ada saja, kadang pujian atau cemoohan, itu adalah hal yang biasa dan bisa dibilang sering terjadi.
          Dengan jujur semua itu aku terima apa adanya. Tanpa prasangka buruk dari siapapun, dan tanpa prasangka buruk dari dalam diri. Tugas itu aku terima apa adanya, dengan perasaan tulus, dengan kemurnian hati, aku jalani mengalir saja dan aku tak memikirkan gampang atau susahnya. Yang aku rasakan tugas itu sebagai obyek kemurnian yang butuh perlakuan dengan kemurnian juga. Gampang atau susah nanti ada jawabnya juga”.
           “Dampaknya…,  aku merasa tenang, dan ada – ada saja ide yang muncul dan bantuan dari pihak – pihak yang tak kuduga sebelumnya untuk menyelesaikan dengan baik. Semua itu menjadi tanggungjawab,  bukan sebuah beban.
          Terkadang ada teman sekantor yang mengadapi masalah seperti ini, selalu kaget dan mengeluh dengan menampakkan wajah bingung, kemudian disusul suasana kepanikan. Sehinga hari – harinya menjadi tidak tenang, seperti anak SD yang mendapat tugas dari Pak Gurunya kemudian suasana kelas menjadi kacau”.
          “bener!, ini yang saya rasakan dan saya alami, pada suatu hari ada warga yang datang dengan tergopoh – gopoh, kemudian melapor bahwa keluarganya kesurupan sekarang kondisinya gawat, sedang mengamuk. Pokoknya bapak harus datang sekarang dan tolong pak,   disembuhkan, kalimatnya terputus – putus panick”.
          “Alkhamdulillah, orang itu bisa diajak tenang dan aku suruh pulang duluan. Aku teringat, orang yang  telah seratus persen percaya padaku   untuk sebuah pertolongan / penyembuhan, artinya mereka telah memberikan kepercayaan penuh dan meyakini bahwa aku bisa menolongnya. Namun cara dan urutan yang pernah aku dengar dari seseorang, lupa – lupa ingat, pokoknya mantaplah, apa yang ada dan muncul dari dalam hati kulakukan dengan penuh keyakinan dan percaya diri. Sebelum berangkat aku membaca doa dan aku yakin nanti saya belum sampai rumahnya, orangnya sudah sembuh, atau sadar.”
          “Ketika aku sudah sampai didepan pintu gerbangnya, semua warga sudah berkumpul dengan satu harapan sembuh, aku disambut beramai – ramai. Aku mencatat, bahwa mereka menyambutku dengan cara yang berlebihan dan penuh ketakutan akan ancaman amuknya, tapi biarlah, itu memang keadaanya yang terjadi, dan aku katakanan tolong….!  semuanya tenang, siapa yang akan menemani bapak masuk, satu orang saja? Hasilnya tak ada yang berani menemaniku. Ya sudah kalau tidak ada, saya minta tolong dibantu dengan doa, agar cepet sembuh. Namun apa yang terjadi? Pasien yang kesurupan itu keluar dari dalam rumah. Tentu saja semua warga menjadi kabur kalang kabut hanya aku saja yang berdiri si depan pintu yang disusul oleh pasien yang kemudian memelukku sambil menangis ketakutan, saya takut pak!”
          “Semuanya sudah selesai, mari masuk kedalam dan minum untuk menghiklangkan rasa pusing dan capek. Melihat kenyataan itu warga kembali mendekat dan ada yang berani masuk. Saya mohon diri dan kembali pulang”.
          “Seperti yang sudah aku katakan, semua ini aku terima apa adanya, namun bagi masyarakat yang latar belakang dan pengalamannya berbeda – beda, merespon kejadian ini berbeda- beda pula, kebanyakan dengan cara yang berlebih – lebihan. Bagi yang kagum, mereka kagum berlebihan sehingga ceritanya dan komentarnyapun berlebihan juga. Bagi mereka yan takut dan takutnya berlebihan sehingga cerita tentang kecemasan akan jadi sasaran amuknya menjadi tak karuan. Itulah gambaran suasana seseorang ang menerima dan menyikapi obyek permasalahan tidak dengan ketenangan sehingga luapan dan ungkapan emosi menjadi sebuah gambaran, betapa kacaunya mereka dan mudah panik dalam menghadapi sesuatu”.
          “Sikap menerima apa adanya dengan kemurnian tanpa mengada –ada dan melebih – lebihkan permasalahan, memiliki nilai dan posisi strategis terhadap penyikapan dan penangnanan masalah. Bahwa ketika kita tenang, masalah ataupun tugas yang menghampiri kita itu, terpengaruh oleh iklim ketengan yang terpancar dari dalam diri sehingga secara alamaiah permasalahan ataupun tugas itu menjadi menjadi lunak dan mudah untuk diselesaikan, begitu sebaliknya ketika seseorang dalam menghadapi masalah dengan kepanikan, ketakutan, kecemasan, maka permasalahan itu dipandang sebagai sesuatu yang akan mendatang masalah besar dan diri menjadi kecil sehingga emosi kita menjadi kalang kabut tak karuan”.
          Salam manusia
Dari obrolan Relawan  ini,  seorang spiritualis dan Ketua RT. Terima kasih atas ceritanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar