Jumat, 21 Desember 2012

MENERIMA APA ADANYA


Relawan  berbagi.
        Seorang relawan bercerita, “Tugas kantor yang setiap saat berubah – ubah, kadang sulit kadang mudah, permintaan tolong dari teman atau dari tamu,  ada – ada saja, kadang pujian atau cemoohan, itu adalah hal yang biasa dan bisa dibilang sering terjadi.
          Dengan jujur semua itu aku terima apa adanya. Tanpa prasangka buruk dari siapapun, dan tanpa prasangka buruk dari dalam diri. Tugas itu aku terima apa adanya, dengan perasaan tulus, dengan kemurnian hati, aku jalani mengalir saja dan aku tak memikirkan gampang atau susahnya. Yang aku rasakan tugas itu sebagai obyek kemurnian yang butuh perlakuan dengan kemurnian juga. Gampang atau susah nanti ada jawabnya juga”.
           “Dampaknya…,  aku merasa tenang, dan ada – ada saja ide yang muncul dan bantuan dari pihak – pihak yang tak kuduga sebelumnya untuk menyelesaikan dengan baik. Semua itu menjadi tanggungjawab,  bukan sebuah beban.
          Terkadang ada teman sekantor yang mengadapi masalah seperti ini, selalu kaget dan mengeluh dengan menampakkan wajah bingung, kemudian disusul suasana kepanikan. Sehinga hari – harinya menjadi tidak tenang, seperti anak SD yang mendapat tugas dari Pak Gurunya kemudian suasana kelas menjadi kacau”.
          “bener!, ini yang saya rasakan dan saya alami, pada suatu hari ada warga yang datang dengan tergopoh – gopoh, kemudian melapor bahwa keluarganya kesurupan sekarang kondisinya gawat, sedang mengamuk. Pokoknya bapak harus datang sekarang dan tolong pak,   disembuhkan, kalimatnya terputus – putus panick”.
          “Alkhamdulillah, orang itu bisa diajak tenang dan aku suruh pulang duluan. Aku teringat, orang yang  telah seratus persen percaya padaku   untuk sebuah pertolongan / penyembuhan, artinya mereka telah memberikan kepercayaan penuh dan meyakini bahwa aku bisa menolongnya. Namun cara dan urutan yang pernah aku dengar dari seseorang, lupa – lupa ingat, pokoknya mantaplah, apa yang ada dan muncul dari dalam hati kulakukan dengan penuh keyakinan dan percaya diri. Sebelum berangkat aku membaca doa dan aku yakin nanti saya belum sampai rumahnya, orangnya sudah sembuh, atau sadar.”
          “Ketika aku sudah sampai didepan pintu gerbangnya, semua warga sudah berkumpul dengan satu harapan sembuh, aku disambut beramai – ramai. Aku mencatat, bahwa mereka menyambutku dengan cara yang berlebihan dan penuh ketakutan akan ancaman amuknya, tapi biarlah, itu memang keadaanya yang terjadi, dan aku katakanan tolong….!  semuanya tenang, siapa yang akan menemani bapak masuk, satu orang saja? Hasilnya tak ada yang berani menemaniku. Ya sudah kalau tidak ada, saya minta tolong dibantu dengan doa, agar cepet sembuh. Namun apa yang terjadi? Pasien yang kesurupan itu keluar dari dalam rumah. Tentu saja semua warga menjadi kabur kalang kabut hanya aku saja yang berdiri si depan pintu yang disusul oleh pasien yang kemudian memelukku sambil menangis ketakutan, saya takut pak!”
          “Semuanya sudah selesai, mari masuk kedalam dan minum untuk menghiklangkan rasa pusing dan capek. Melihat kenyataan itu warga kembali mendekat dan ada yang berani masuk. Saya mohon diri dan kembali pulang”.
          “Seperti yang sudah aku katakan, semua ini aku terima apa adanya, namun bagi masyarakat yang latar belakang dan pengalamannya berbeda – beda, merespon kejadian ini berbeda- beda pula, kebanyakan dengan cara yang berlebih – lebihan. Bagi yang kagum, mereka kagum berlebihan sehingga ceritanya dan komentarnyapun berlebihan juga. Bagi mereka yan takut dan takutnya berlebihan sehingga cerita tentang kecemasan akan jadi sasaran amuknya menjadi tak karuan. Itulah gambaran suasana seseorang ang menerima dan menyikapi obyek permasalahan tidak dengan ketenangan sehingga luapan dan ungkapan emosi menjadi sebuah gambaran, betapa kacaunya mereka dan mudah panik dalam menghadapi sesuatu”.
          “Sikap menerima apa adanya dengan kemurnian tanpa mengada –ada dan melebih – lebihkan permasalahan, memiliki nilai dan posisi strategis terhadap penyikapan dan penangnanan masalah. Bahwa ketika kita tenang, masalah ataupun tugas yang menghampiri kita itu, terpengaruh oleh iklim ketengan yang terpancar dari dalam diri sehingga secara alamaiah permasalahan ataupun tugas itu menjadi menjadi lunak dan mudah untuk diselesaikan, begitu sebaliknya ketika seseorang dalam menghadapi masalah dengan kepanikan, ketakutan, kecemasan, maka permasalahan itu dipandang sebagai sesuatu yang akan mendatang masalah besar dan diri menjadi kecil sehingga emosi kita menjadi kalang kabut tak karuan”.
          Salam manusia
Dari obrolan Relawan  ini,  seorang spiritualis dan Ketua RT. Terima kasih atas ceritanya.

Jumat, 14 Desember 2012

ZONA EKSTRIM KEHAWATIRAN

           Rasa hawatiran yang murni, yang muncul dari ruang kepedulian dan keterpanggilan hati, akan menghantarkan dan memandu rasa suka dan sayang untuk melakukan suatu tindakan pengamanan dan pengendalian, pemberdayaan agar sesuatu yang dihawatirkan tidak menjadi kenyataan. Rasa hawatir yang murni, menghawatirkan untuk tidak terjadinya sesuatu keberukan.
            Rasa hawatir yang didukung pembenaran logika ego  , akan membawa ke wilayah ekstrim hawatir, dan akan masuk dalam – dalam, dalam rasa kehawatiran berkepanjangan yang teramat dalam dan akan menyiksa diri mengikis keyakinan kebebaran sehingga  akan jauh  kebenaran .
            Rasa kehawatiran terus akan menyeret semakin dalam dan semakin menysesatkan diri akan optimisme nilai kebenaran. Patah semangat,pupus harapan, rasa ketidak adilan, rasa penderitaan terus menguasai diri dan dapat menyebabkan membunuh harapan selamanya. Semakin dalam  terseret dalam sedikit sadarnya anda merasa menjadi gila dan membutuhkan dokter jiwa ataupun psikolog.
            Apapun permasalahannya, yang telah menyeret   dalam kehawatiran, atau  telah masuk ke zona ekstrim hawatir,  yang telah membawa hidup tidak nyaman, marilah bersama – sama mencermati berikut ini:
            Sebuah nilai yang yang ingin dimiliki dan telah diperjuangkan, dan sampai sekarang belum belum anda raih. Padahal semua upaya sudah dilakukan dan hasilnya semakin mendorong dan membangun rasa hawatir. Rasa hawatir yang telah menguasai diri akan sebuah perilaku penuh kehawatiran dan kecemasan. Kehawatiran dan kecemasan itu telah merubah wujud menjadi monster yang menakutkan dan terus membayang kehidupan khususnya pada setiap upaya yang diperjuangkan.
            Rasa kehawatiran dan kecemasan itu telah menodai hati yang dalam dan menjelam menjadi sebuah nilai yang hidup yang menghantui. Pancaran gelombang hantu itu membentuk sebuah iklim yang berhasil menodai lingkungan ruang gerak pikir menjadi iklim hantu yang mendukung untuk membentuk terjadinya kehawatiran dan kecemasan itu. Coba perhatikan apakah iklim hantu sudah berkali – kali menunjukkan pembuktian dan pembenaran kehawtiran itu terjadi, bukankah ini sangat menyakitkan?
            Mari kita cermati lagi, sebuah nilai yang telah atau pernah diyakini dan menjadi semangat dalam melakukan sesuatu, nilai yang diyakini kebanrannya dan telah didukung rasa optimis bahwa itu pasti bisa terjadi,  dan itu dilakukan dengan sungguh – sungguh, dan  atau orang lain itu diyakinkan dan melakukan sesuai arahan  , dan hasilnya orang itu benar- benar bisa,  dan yang diperjuangkan itu benar – benar terjadi.
            Atau pernahkah  dalam pengalaman lain dan permasalahan yang lain, mendapat arahan dan motifasi, terhadap sesuatu yang saat itu menurut diri, sulit atau bahkan hampir tidak mungkin terjadi. Dan pada saat itu diri telah   melakukan sesuai arahan, hingga  sesuatu yang terjadi menurut arahan itu. Selanjutnya diri menjadi yakin akan kebenaran itu.  Sekarang nilai itu masih melekat dan bahkan menjadi salah satu ketrampilan anda dalam memotifasi orang lain.
            Gampangnya bicara, diri pernah membujuk anak kecil untuk menerima dan melakukan sesuatu yang ditawarkan, pada mulanya anak itu takut, ragu, dan berkat motifasi kuat yang diberikan, akhirnya anak itu mau melakukan. Sekarang sesuatu yang ditakutkan anak itu sudah tidak ada lagi, dan anak itu memiliki nilai yang menjadi ketrampilan dan warna kepribadiannya.
            Dari pengalaman – pengalaman itu dapat  ditarik sebuah pelajaran, ketika sebuah nilai yang diyakini kebenarannya mulai meresap dalah hati, semakin dalam semakin kuat dan mampu unutk melakukan. Respon demi respon mengarah dan membentuk sesuatu sesuai yang diharapkan sesuai dengan nilai itu.
            Yakinlah semua perubahan dimulai dari dalam diri, dari sebuah nilai yang diyakini dan tidak ada keraguannya, sadar bahwa semua keresahan, kehawatiran ego itu telah membawa kepada penderitaan, dan semua itu akan berubah pelan – pelan dengan seiring nilai baru kepedulian dan keterpanggilan yang dipegang kuat – kuat.
            Yakinlah dengan kesadaran penuh  bahwa suatu kondisi akan baik – baik saja,  sehat – sehat saja, semua akan berjalan normal. Tuhan Maha kuasa dan Maha Sempurna atas segala penciptaanNya. Kondisi baik – baik saja ini akan membantu proses pembentukan harapan zona manusia secara normal. 
            Setiap kali ada benturan nilai yang melawannya, kembalilah pada kondisi sadar penuh, bahwa diri dalam keadaan  baik – baik saja dan normal, hingga pikiran, perasaan dan suasana hati menjadi tenang, nyaman, damai. Lakukan pengkondisian ini terus menerus, hinga nilai ini menjadi milik anda dan anda secara otomatis akan menjadi tangguh dan semakin nyaman.
            Kebahagiaan diri anda adalah milik anda sepenuhnya, tak diijinkan siapapun merenggutnya. Dan anda sendirilah yang membentuknya dan menjaganya dari segala godaan kebimbangan, kecemasan dan kehawatiran. Kebahagian anda akan menjadi milik anda sepenuhnya, ketika anda benar – benar merasa nyaman dan hidup dalam zona nyaman yang dalam. Semua akan berjalan sesuai tugas alamiahnya masing – masing dan harapan   harapan manusia akan menjadi kenyataan.

Salam manusia.
Tulisan/ naskah  ini disampaikan pada agenda juli 2012 sebagai rangkuman peristiwa pemberdayaan diri : penanganan dini terhadap penderita  gugur kandungan, gugur pembuahan, sehingga penderita mengalami depresi dan menganngap dirinya telah gagal sebagai seorang wanita.

Kamis, 29 November 2012

Tanpa Syarat

Tanah
Air
Angin
Api
Langit
Semesta
Semua jeda
Semua yang diantaranya
n k

Apapun
Bagaimanapun
Seketikapun
Kapanpun

Terang - gelap
Hitam - putih
Lembut - keras
Jahat - baik
Benar - Salah

Aku - kamu
Dia - mereka
Kita - kalian
Makhluk - manusia
Dosa - amal

Semua dimensi paradoksitas

Segala itu...
Benturkanku di kening kubur

Luruh...
Tunduk...
hanya pada MU

Tak bersyarat... Tanpa syarat... Tak bersyarat...


*Salam Manusia

Selasa, 27 November 2012

Dialektika Kebenaran 1

Meski telah ada kebenaran hakiki yang datang nya dari Yang Maha Benar, namun jika ada yang mencoba menetaskan kebenaran melalui alur logika pikir dan rasa dengan sistematika analogis, maka tidak pula menjadi alergi untuk bersenang-senang ber-analogi ria. Karena semua itupun hanya akan semakin menunjukkan kebenaran Nya lah yang terbenar.

Mari kita bersenang-senang ber-analogi ria, yang akan menempatkan kemungkinan/probabilitas sebagai simpul filter nya:

Setidaknya akan selalu ada 3 atau lebih probabilitas dalam sebuah fakta yang dihadapi. Namun akan selalu ada satu hal yang tidak mungkin terjadi.

Contoh A: Kasus perdebatan warna tentang lidi/biting biasa:

- dia mengatakan warna lidi/biting itu adalah merah

- tapi mereka mengatakan warna lidi itu kuning

probabilitas:
1. Warna lidi itu merah
2. Warna lidi itu kuning
3. Warna lidi itu berada di antara merah & kuning (bisa kuning marun atau merang redup dst)
4. Warna lidi itu tidak merah, juga tidak kuning

*tapi tidak mungkin warna lidi itu berubah-ubah terkadang kuning dan terkadang merah. Hari ini kuning besok merah, besoknya kuning besoknya merah. Karena Lidi itu lidi biasa, bukan lidi elektronik ataupun lidi jadi-jadian.


Contoh B: Kasus perdebatan antara gemuk dan kurus


- dia mengatakan orang yang dihadapannya itu gemuk
- yang lainya/mereka mengatakan orang yang dihadapannya itu kurus

probabilitas:
1. Orang tersebut gemuk
2. Orang tersebut kurus
3. Orang tersebut tidak kurus, tidak juga gemuk (sedang)
4. dst..

*tapi tidak mungkin orang tersebut dilihat oleh dia ataupun yang lainnya saat itu berubah-rubah kadang-kadang gemuk, kadang-kadang kurus. Satu menit sebelumnya gemuk, satu menit kemudian berubah kurus, gemuk lagi, kurus lagi, pada satu waktu tatapan dari dia & yg lainnya.

Selebihnya silahkan masukkan sendiri kasus-kasus lainnya, semua akan merujuk pada satu kejelasan, kepastian, sesuatu yang menegaskan dan lugas. Karena itulah fitrah manusia, mencari sesuatu yang jelas dan pasti, kepuasan akan kejelasan dan kepastian. 

Karena manusia dengan nilai-nilai kemanusiaannya adalah warna ejawantah dari Tuhan nya sebagai penegas antara yg hitam dan yang putih, yang biru dan yang kuning, yang gemuk dan yang kurus, yang benar dan yang salah dst. Bukan nilai kadang-kadang atau nilai keraguan atau nilai yang "ambigu", yang hitam dikatakan putih, yg putih dikatakan hitam atau sebaliknya; yang putih kadang hitam, yang hitam kadang putih dst. Yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan benar atau sebaliknya; yang benar kadang salah, yang salah kadang benar, dst.

Nilai-nilai ke-Tuhan an yang diamanatkan kepada manusia melalui nilai-nilai kemanusiaanya untuk praktek hidupnya, tidak akan menempatkan kita pada pilihan menjadi "diantaranya". Diantara dua kutub, diantara dua warna, diantara kebenaran & ketidakbenaran, dst. 



*Salam Manusia

Rabu, 21 November 2012

MEMBANGUN JEMBATAN INTEGRITAS KAUM INTELEKTUAL (RAUSYANFIKR) DENGAN RAKYAT JELATA


Era Globalisasi, Informasi dan Komunikasi merupakan sebuah fenomena universal yang ditandai dengan terbukanya jendela-jendela informasi dengan segala kompleksitasnya baik di kalangan negara maju atau negara-negara berkembang.  Ironisnya, era keterbukaan ini justru telah memutuskan jembatan Integritas antara kalangan intelektual dengan rakyat Jelata dalam proses interaksi sosialnya.

Indikator ini ditandai dengan adanya Kesalahan Persepsi bahwa Kaum Intelektual (Rausyanfikr) adalah Dewa Agung yang Eksklusif dan sulit untuk disentuh rakyat biasa dan keringnya cinta, kasih sayang serta kepercayaan antar keduanya. Padahal sesungguhnya diatas bahu Kaum Intelektual itu terpikul suatu tanggung jawab moral atas Kemerdekaan, Kesejahteraan dan Kedamaian Hati Rakyatnya.


Oleh : Relawan RUMAH MANUSIA, Rachman Bachtiar
(Widyaiswara Pertama BBPPKS-Banjarmasin)

Busur globalisasi yang telah diluncurkan ke segenap penjuru dunia saat ini bagaikan bilah pedang bermata dua. Pada satu sisi telah membuka cakrawala   pengetahuan manusia yang menakjubkan dan banyak melahirkan kalangan-kalangan Intelektual, sedang disisi lainnya justru menimbulkan tragedi bagi masyarakat tradisional yaitu buruknya jalinan integritas/ kesenjangan antara rakyat biasa dan rakyat kelas terpelajar (Kaum Intelektual). Di negara-negara barat, karena adanya sistem komunikasi dan pendidikan massa yang baik, maka terdapat suatu jalinan kerjasama  antara keduanya. Oleh karenanya, di negara seperti itu, seorang profesor tidak  akan mengalami kesulitan untuk berkomunikasi, berintegrasi dan akrab dengan kalangan bawah sekalipun. Sang profesor atau orang-orang intelektul tidak pula ditempatkan di angkasa aristokrasi, atau diperlakukan rakyat sebagai Dewa agung yang sulit untuk disentuh. Bahkan di Jepang sang profesor berkenan untuk mengajar di Sekolah-Sekolah Dasar.

KAUM INTELEKTUAL (RAUSYANFIKR)  
Rausyanfikr berasal dari kata Persia yang artinya : ”Pemikir yang Tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggris disebut intellectual atau free-thinkers.
Menurut James MacGregor Burn : Seorang intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Jadi seorang intelektual ialah orang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analistis dan normatifnya. Menurut Edward A. Shils, dalam International Encyclopedia of The Social Sciences, tugas intelektual ialah ”menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat ; mendidik pemuda dalam tradisi dan ketrampilan masyarakatnya ; melancarkan dan membimbing estetik dan keagamaan berbagai sektor masyarakat... ”     
Terjemahan bebas untuk istilah Rausyanfikr adalah kaum intelektual ; dalam arti yang sebenarnya, kaum intelektual yang dimaksud adalah bukan orang-orang yang semata-mata telah melewati pendidikan formal dengan gelar sarjana, mereka juga bukan sekedar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah orang-orang yang jiwanya terpanggil untuk memperbaiki masyarakat, menangkap aspirasi mereka, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah yang ada dalam masyarakatnya,  merumuskan dan mengkomunikasikan konsep-konsep dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang,

DISINTEGRITAS
Jika kita telaah, kondisi rakyat sekarang sedang merindukan suasana harmonis, tidak lagi terdapat kesenjangan antara Kaum Intelektual dan Rakyat Biasa,  Para Tokoh Keagamaan, Filosof-Filosof besar dan Kaum Inteligensia bisa hidup ditengah rakyat dan selalu memelihara interaksi sosial dengan mereka, dan norma-normalah yang senantiasa menjadi jembatan penghubung antara kelompok satu dengan yang lainnya. Sehingga suara rakyat bisa berkumandang membelah birokrasi dan terdengar di telinga kaum intelektual yang selanjutnya bergandengan berjalan bersama untuk mencapai cita-cita dan tujuan yaitu kehidupan masyarakat yang sejahtera dan merdeka lahir batin.
Namun dalam realitas yang ada, sistem pendidikan kita sekarang, telah melahirkan birokrat-birokrat dan generasi muda terpelajar yang hidup terbelenggu dalam benteng-benteng terisolasi bahkan telah menggali jurang pemisah antara mereka dan rakyat, dan tatkala mereka terjun ke masyarakat untuk berkarya (sebagai manifestasi pengamalan ilmu yang mereka peroleh dari pendidikan formal) si rakyat tetap ”tak-tergapai”. Akibatnya, rakyat hanya menganggap mereka sebagai golongan/ kelas eksklusif yang tidak dapat memberi manfaat apapun bagi mereka. Selama ini memang belum kita dengar ada seorang birokrat atau seorang ilmuwan misalnya, duduk satu tikar bersama rakyat untuk berbicara dan bergerak bersama-sama masyarakat melakukan langkah-langkah strategis bagi pembangunan, kesejahteran, kemerdekaan dan kedamaian hati rakyat sesuai konsep teori yang mereka miliki, demi mencapai cita-cita dan tujuan bersama.
Oleh karenanya, kami atas nama rakyat sangat mendambakan kehadiran Individu-Individu yang merasa terpanggil dan memiliki tanggung jawab moral untuk menyelamatkan dan mempersatukan komponen-komponen kehidupan sosial yang bercerai berai, yaitu  Membangun Sebuah Jembatan Integritas yang Merentang dari Stasioner Misterius Kaum Intelektual ke Arah Hati Rakyat. Penghubung antara dua kutub yang saling mengasingkan secara teoritis dan praktis.
                    
MEMBANGUN JEMBATAN INTEGRITAS
Dari mana kita mesti memulai  ?  Pertanyaan semacam ini hanyalah ada pada orang-orang yang memilki rasa tanggung jawab moral dan sangat berhasrat untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, dan individu semacam itu adalah yang tergolong kedalam Kaum Intelektul (Rausyanfikr) sejati, yang memiliki  tanggung jawab moral dan misi sosial tertentu dengan orientasi kesejahteraan dan kedamaian hati rakyat.
Siapa-kah Rausyanfikr itu ? setiap Rausyanfikr adalah seorang intelektual, tetapi tidak selalu seorang intelektual bisa menjadi sorang Rausyanfikr. Seorang Rausyanfikr adalah individu yang sadar terhadap kondisi kemanusiannya, masyarakatnya dan periode masa hidupnya, dan kesadaran semacam itulah yang bisa menganugrahinya rasa tanggung jawab moral.
Seorang Rausyanfikr akan lebih efektif jika ia juga seorang terpelajar, tetapi dengan berjalanya waktu, seseorang yang tidak berpendidikan formal pun  justru dapat memainkan peran yang lebih dominan dan penting di masyarakat. Suatu penelaahan terhadap masyarakat-masyarakat yang secara tiba-tiba tertranspormasikan dari kodisi buruk akibat imperialisme menuju suatu masyarakat yang cemerlang dan progresif, membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin mereka seringkali berasal dari tokoh-tokoh yang bukan kaum Intelektual, seperti di Afrika, Amerika Latin, Indonesia saat perang melawan kolonial Belanda, telah melahirkan para pahlawan yang tak pernah memiliki suatu gelar apapun, juga di negara-negara Asia lain seperti saat perang Vietnam, ternyata para pemimpin revolusioner mereka bukanlah berasal dari kalangan kelas terpelajar yang bertitel tertentu atau ahli strategi perang. Ternyata intelektualitas mereka, yang terlahir dari rakyat biasa telah mampu membangun integritas, semangat dan keyakinan utuk menjadi bangsa yang merdeka, sejahtera dan terhormat di mata dunia.
Dalam suatu periode ketika manusia menemui jalan buntu karena krisis global seperti sekarang ini, dan Dunia ketiga tengah bergulat melawan berbagai permasalahan sosial yang berdimensi multi krisis, seorang Rausyanfikr   membimbing masyarakatnya agar  sadar dan ikut memikul tanggung jawab dalam proses pemecahan masalah-masalahnya.  Berdasarkan definisi ini, seorang Rausyanfikr bukanlah orang-orang yang memproklamirkan diri sebagai pewaris Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, Ibnu Sina atau   para Wali, tapi orang-orang yang memiliki itikad, komitmen dan tanggung jawab moral untuk meneruskan dan menyempurnakan karya dan cita-cita para pendahulunya.
Tugas dan tanggung jawab Seorang Rausyanfikr serupa dengan kaum revolusioner dan para pemimpin masa silam. Individu ini lebih merupakan milik rakyat ketimbang milik suatu ajaran pemikiran, teknik atau sains tertentu, ia akan selalu hadir ditengah-tengah rakyat dan mempersembahkan semboyan, pandangan, inovasi, energi dan animasi sosial kedalam jantung kesadaran masyarakat mereka.
Misi dan upaya revolusioner semacam itu akan menyebabkan goncangan, transpormasi, keyakinan dan motivasi dan animasi sosial kedalam masyarakat yang sering macet terjebak oleh status quo. Rausyanfikr  mengambil peran sebagai individu-individu yang memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk menyampaikan Karunia Tuhan (Kesadaran) kepada masyarakat.  Karena  kesadaranlah yang akan mampu mengubah ideologi dan kondisi masyarakat dari kehancuran   menjadi sesuatu kekuatan yang kreatif dan menggelora,  perubahan itu akan melahirkan peradaban, budaya yang cemerlang, pahlawan-pahlawan umat dan menjadikan terbangunnya Jembatan Integritas antara dua kubu yang selama ini terputus,

MAKNA INTELEKTUALITAS
Uraian diatas telah menjawab pertanyaan : ”Dari mana Kita Mesti Memulai ?” .Tugas seorang Rausyanfikr yaitu menyampaikan Risalah Tuhan kepada umat manusia yang beku dan terbelakang. Ketahuilah, bahwa ini bukanlan daerah kekuasaan (ranah) seorang ilmuwan, yang selalu menunjukan fungsi-fungsi tegas, seperti diagnosa atas suatu kondisi sosial masyarakat miskin kini, penemuan dan pemanfaatan sumber daya alam atau sumber daya manusia misalnya atau pemenuhan kebutuhan material kehidupan manusia. Biasanya, Seorang Ilmuwan menemukan Realitas... sedangkan Seorang Rausyanfikr   menemukan Kebenaran, kalau seorang Ilmuwan menyatakan   ”ini Ungkapan yang Sebaiknya” ... maka seorang Rausyanfikr akan menyatakan ”itu Bukanlah Cara Sebaiknya ... tapi Seharusnya ...”  Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal .... Rausyanfikr akan berbicara dengan bahasa kaumya... Ilmuwan bersikap netral... Rausyanfikr harus melibatkan diri pada Ideologi. Rausyanfikr  akan mengajak rakyat dan bersama-sama melakukan langkah-langkah inovatif sekaligus membimbing dan memberi petunjuk bagaimana cara melakukannya. ini adalah suatu kenyataan bahwa :  Ilmu Pengetahuan adalah Kekuatan ... sedang Pemikiran Merdeka (Rausyanfikr) adalah Cahaya (Nur).



INTELEKTUAL ORGANIK
Dalam kancah kehidupan sosial masyarakat ada banyak terdapat Intelektual Organik bak mutiara yang berkubur oleh lapuknya usia zaman. Menurut Antinio Gramsci, Intelektual Organik adalah :  Golongan masyaralat yang sadar dan mampu menyadarkan serta menggerakkan rakyat dalam merespon kepincangan-kepincangan baik sosial, budaya, ekonomi atau politik. Intelektual Organik adalah sebagai intelektual yang secara organis berakar dalam rakyat dan bagian dari rakyat. ”Semua orang adalah Intelektual, maka seseorang dapat mengatakannya  demikian, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat” (Gramsci 1971, hal 121).
 Dengan kata lain, senantiasa ada intelektual yang memainkan peran dalam Revolusi Kesadaran sebagai pencetus dan penyebar ideologi dalam masyarakat. Melalui pencerahan dan pengetahuan yang luhur seperti itulah, rasa tanggung jawab moral dibangkitkan, demi memandu seorang manusia ke jalan yang benar, bukannya melalui kajian dari ilmu fisika, kimia, sastra, biologi, sosial atau pun hukum. Itulah sebabnya mengapa  banyak rakyat biasa yang tidak berpendidikan sering dapat berperan dan mampu memberi warna baru dalam kehidupan masyarakatnya yang layu, untuk kemudian memandu mereka ke arah tujuan yang diinginkannya ; sementara banyak juga ilmuwan  yang tidak mengambil satu langkah pun dalam proses membentuk kesadaran, keyakinan, cinta, kasih sayang  dan ideologi ke dalam masyarakat mereka.
Suatu realita menyatakan, bahwa seorang profesor ahli kimia, matemetika, biologi, ekonomi, hukum  bahkan ahli nuklir sekalipun sampai saat ini belum mampu berbuat sesuatu tatkala mengahadapi kondisi masyarakat yang sedang diterpa krisis Ideologi, keyakinan, spititual dan sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dekadensi moral, krisis kepercayaan, anarkis dan hal lainnya.  Tujuan seorang Rausyanfikr adalah membentuk kewaspadaan dan keyakinan serta memilih suatu cita-cita bersama masyarakat untuk masyarakat itu sendiri.
Seseorang tidak akan mengakui dirinya sebagai seorang Rausyanfikr hanya karena ia pernah belajar di Eropa/ Amerika dan memperoleh Gelar tertentu. Selama ini kita telah salah mempersepsikan bahwa Rausyanfikr, Ilmuwan, dan Intelektual sebagai predikat yang sepadan, sehingga kita tidak dapat mengidentifikasikan mana Rausyanfikr, mana yang kategori Ilmuwan dan mana yang  Intelektual. Ternyata panggilan jiwa, rasa tanggung jawab, keyakinan, kejujuran, ketulusan dan ahlak mulia bukanlah suatu yang dapat dipelajari di Universitas-Universitas terkenal sekalipun, karena individu-individu seperti mereka bukanlah lulusan Hardvard, Sorbonne, Mesir  atau Louisiana Police Academy Bauten Roudge Amerika (Sekolah Kepolisian yang mencetak Pasukan Anti Teroris).


JADI INTINYA :       
Rausyanfikr (Kaum Intelektual) adalah mereka yang punya visi dan misi hidup, tidak larut dalam dinamika hidup, tapi justru mampu melarutkan kehidupan dalam pandangannya yang cemerlang,  ia adalah individu yang tetap sadar akan kenyataan bahwa manusia di wilayah manapun berada, dengan segenap dimensi dan bakatnya bisa saja menjadi korban  penindasan, ketidak-adilan, konsumeristis, hedonis, terjebak dalam kondisi kebebasan seksual, keterbelakangan, kemiskinan, kelaparan dan kegelapan ilmu pengetahuan.  Seorang Rausyanfikr dilingkungan yang kondisi masyarakatnya seperti itu, akan selalu gelisah dan bertanggung jawab untuk membawakan semboyan-semboyan, tujuan, serta ideologi-ideologi yang relevan dan asli kepada masyarakatnya serta membimbing mereka untuk hijrah dari kondisi kontradiktif yang telah menghunjam jantung mereka agar kembali sadar. Seorang Rausyanfikr akan membangun kesadaran diri dan pola fikir progresif masyarakat serta menebarkan cahaya ilmu kedalam eksistensi rakyat yang hatinya dingin dan  beku, serta menyalurkan energi spiritual demi membangkitkan dan memotivasi manusia untuk menjadi abdi kehidupannya dengan setia, sehingga mereka akan Back to Basic pada kepribadian, religius, budaya, identitas, keberfungsian sosial dan sejarah bangsanya.       

KONSEP STRATEGI DEMI TERBANGUNNYA INTEGRITAS
ANTARA KAUM INTELEKTUAL DENGAN RAKYAT

1.    Back to Basic pada sistem pendidikan yang berdimensi akar budaya bangsa sendiri,  didiklah bangsa ini tidak saja dengan berbagai ilmu pengetahuan yang hanya merupakan konsumsi otak, tapi juga sinarilah nurani mereka dengan cahaya  ilmu ukhrowi yaitu agama dan nilai-nilai kepribadian bangsa sendiri,  agar mereka terlahir sebagai Rausyanfikr yang  progresif dan revolusioner serta bertanggung jawab dalam membantu masyarakat  untuk hijrah dari kontradiksi budayawi asing yang dipaksakan ke alam sadar mereka agar segera bangkit dan memiliki keyakinan
2.    Dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat, tebarkanlah    Rausyanfikr yang dapat menemukan dan menggali permasalahan dan bersama masyarakatnya melakukan langkah-langkah strategi pemecahan masalah dengan memanfaatkan sumber daya internal maupun eksternal yang ada disekitarnya
3.    Seyogyanya, masyarakat kita dibangun atas dasar  ideologi yang responsif, prinsip dan cita-cita luhur yang bersendikan agama, dengan nilai-nilai agama kita mempunyai konsep keikhlasan, kedisiplinan, kesyahidan/ jihad.  Dengan harapan kita tidak lagi memilki para pemimpin yang selalu mencari perlindungan di Goa-Goa, Benteng-Benteng Militer atau Bihara-Bihara,  tetapi mereka orang-orang yang berani terjun dikancah perang melawan penderitaan rakyat atau bahkan siap untuk dipenjara.
4.    Untuk membimbing dan menyelamatkan manusia, membentuk keyakinan, cinta dan kasih sayang, power dan kesadaran  baru, serta menyadarkan mereka akan bahaya kebodohan, ketakhayulan, penindasan ketidak adilan, kemiskinan dalam masyarakat, maka diperlukan keberadaan Rausyanfikr  di berbagai kalangan baik itu di kalangan birokrasi maupun dalam stratifikasi sosial masyarakat. Mereka harus star dengan energi religius dan keyakinan. jangan seperti kondisi saat sekarang yang justru banyak perilaku-perilaku individu yang menentang prinsip-prinsip dan kosep ideal  religius/ agama sejati,.............

REFERENSI :

1. Ali Syari’ati, Pengantar : Drs. Jalaludidin Rahmat MSc. Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, Bandung : Mizan, April  1984

2. Mansour Faqih, Antonius Maria Indrianto, Eko Prasetyo, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia, Insist Press, Maret 2003.

3. ...... Manifesto Intelektual Organik, Diskusi HMI Komisariat SAINTEK UIN Malang, 21 Mei 2005, Internet, Google, 23 Desember 2008.

4. Masmulyadi, HAMKA dan Intelektual Organik (Catatan 100 Tahun Prof. Dr. HAMKA), Internet, Google, 23 Desember 2008.

5. Kholis Malik, Diktator Tanpa Hegemoni VS Revolusi Kesadaran Kita, Harian Pelita, Internet, Google, 23 Desember 2008.